BlackBerry semakin terhimpit dengan inovasi ponsel-ponsel pintar bersistem operasi Android dan iOS. Ponsel BlackBerry pun makin tak laku dan membuat perusahaan asal Kanada itu merugi US$950 juta (Rp10,7 triliun) hingga US$995 juta (Rp11,2 triliun).
TIME melansir, 25 September 2013, BlackBerry telah menandatangani perjanjian penjualan perusahaan dengan konsorsium Fairfax Financial Holdings Limited. Fairfax membeli BlackBerry senilai US$4,7 miliar atau setara dengan Rp53,7 triliun. BlackBerry juga akan menerima US$9 untuk tiap saham yang diambil alih konsorsium itu secara tunai.
“Panitia khusus dibentuk untuk mencari cara terbaik menyelamatkan perusahaan,” kata Ketua Dewan Direksi BlackBerry Barbara Stymiest.
Keruntuhan BlackBerry hampir sama dengan Nokia. Kedua perusahaan itu sama-sama pernah memimpin pasar ponsel, tapi akhirnya dominasi mereka runtuh. Ponsel BlackBerry hanya mendapat tempat 3 persen di pasar ponsel, sisanya dikuasai oleh Apple dan Google.
Runtuhnya dominasi BlackBerry menjadi studi khusus tentang raksasa teknologi yang gagal berinovasi di pasar konsumen teknologi yang berkembang sangat cepat. Jelas. Kegagalan BlackBerry bersaing dengan Apple dan Google merupakan konsekuensi dari kesalahan visi dan strategi perusahaan.
Ada tiga kesalahan fatal BlackBerry. Pertama, setelah mendominasi pasar ponsel, BlackBerry gagal mengantisipasi bahwa konsumen adalah penentu dari revolusi ponsel pintar.
Kedua, BlackBerry secara mengejutkan memunculkan aplikasi mobile yang kemudian diadopsi secara besar-besaran oleh Apple dan Google. Ketiga, BlackBerry gagal menyadari bahwa ponsel pintar terus berkembang dari perangkat komunikasi menjadi perangkat hiburan.
Tak hanya itu, BlackBerry juga bersikukuh memproduksi ponsel dengan keyboard (Qwerty), padahal banyak pengguna ponsel yang menginginkan ponsel dengan layar sentuh. Meskipun kemudian BlackBerry meluncurkan ponsel layar sentuh, tapi itu sudah terlambat. Konsumen sudah nyaman dengan ponsel layar sentuh Android dan iOS yang sudah lebih dulu muncul.
Keruntuhan ini entah hanya masa istirahat BlackBerry atau untuk selamanya. Perusahaan yang pernah mendapat julukan Waterloo Kanada Silicon Valley ini sepertinya sedang mencari cara untuk meraih kemenangan lagi di pasar ponsel dunia.
“Panitia khusus dibentuk untuk mencari cara terbaik menyelamatkan perusahaan,” kata Ketua Dewan Direksi BlackBerry Barbara Stymiest.
Keruntuhan BlackBerry hampir sama dengan Nokia. Kedua perusahaan itu sama-sama pernah memimpin pasar ponsel, tapi akhirnya dominasi mereka runtuh. Ponsel BlackBerry hanya mendapat tempat 3 persen di pasar ponsel, sisanya dikuasai oleh Apple dan Google.
Runtuhnya dominasi BlackBerry menjadi studi khusus tentang raksasa teknologi yang gagal berinovasi di pasar konsumen teknologi yang berkembang sangat cepat. Jelas. Kegagalan BlackBerry bersaing dengan Apple dan Google merupakan konsekuensi dari kesalahan visi dan strategi perusahaan.
Ada tiga kesalahan fatal BlackBerry. Pertama, setelah mendominasi pasar ponsel, BlackBerry gagal mengantisipasi bahwa konsumen adalah penentu dari revolusi ponsel pintar.
Kedua, BlackBerry secara mengejutkan memunculkan aplikasi mobile yang kemudian diadopsi secara besar-besaran oleh Apple dan Google. Ketiga, BlackBerry gagal menyadari bahwa ponsel pintar terus berkembang dari perangkat komunikasi menjadi perangkat hiburan.
Tak hanya itu, BlackBerry juga bersikukuh memproduksi ponsel dengan keyboard (Qwerty), padahal banyak pengguna ponsel yang menginginkan ponsel dengan layar sentuh. Meskipun kemudian BlackBerry meluncurkan ponsel layar sentuh, tapi itu sudah terlambat. Konsumen sudah nyaman dengan ponsel layar sentuh Android dan iOS yang sudah lebih dulu muncul.
Keruntuhan ini entah hanya masa istirahat BlackBerry atau untuk selamanya. Perusahaan yang pernah mendapat julukan Waterloo Kanada Silicon Valley ini sepertinya sedang mencari cara untuk meraih kemenangan lagi di pasar ponsel dunia.
Sumber: VIVAnews